Skip to main content

Bangladesh: Meningkatnya Kekerasan Terhadap Pengungsi Rohingya

Lindungi Komunitas dari Pembunuhan, Penculikan, dan Penyiksaan

Petugas keamanan berjaga-jaga setelah pembunuhan terhadap pemimpin komunitas Rohingya Mohib Ullah di kamp pengungsi Kutupalong, Bangladesh, Oktober 2021. © 2021 Munir Uz Zaman/AFP via Getty Images
  • Pihak berwenang Bangladesh gagal melindungi para pengungsi Rohingya secara memadai dari lonjakan kekerasan yang dilakukan berbagai kelompok bersenjata serta gerombolan kriminal, dengan berlapis-lapis penghalang untuk mendapatkan bantuan polisi, hukum, dan medis.  
  • Pihak berwenang telah memaksa para pemimpin Rohingya untuk menjadi informan, menempatkan mereka pada risiko besar diculik atau dibunuh, tanpa akses perlindungan.
  • Pemerintah seharusnya membuat kebijakan keamanan yang menghargai hak asasi manusia dengan berkonsultasi dengan para pengungsi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah di negara-negara donor seharusnya menekan Bangladesh untuk menghilangkan hambatan untuk mendapatkan keadilan.

(Bangkok) – Pihak berwenang Bangladesh tidak mengambil langkah-langkah memadai untuk melindungi para pengungsi Rohingya di kamp-kamp akibat lonjakan kekerasan yang dilakukan berbagai kelompok bersenjata serta gerombolan kriminal, kata Human Rights Watch hari ini. Pihak berwenang seharusnya membantu para pengungsi dengan membangun sistem yang dapat diakses untuk melaporkan kejahatan dan segera menyelidiki pengaduan.

Human Rights Watch mendokumentasikan 26 kasus kekerasan terhadap komunitas Rohingya, termasuk pembunuhan, penculikan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, serta pernikahan paksa, berdasarkan wawancara dengan 45 pengungsi Rohingya antara Januari hingga April 2023 serta bukti-bukti pendukung, termasuk laporan polisi dan medis. Para korban melaporkan berbagai hambatan saat mereka berusaha mendapatkan bantuan polisi, hukum, serta medis, dan pihak berwenang gagal memberikan perlindungan, meningkatkan keamanan, atau mengadili mereka yang bertanggung jawab.

“Janji Perdana Menteri Sheikh Hasina pada masa lalu untuk melindungi pengungsi Rohingya kini terancam oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan dan sistem peradilan yang acuh tak acuh,” kata Meenakshi Ganguly, wakil direktur Asia di Human Rights Watch. “Niat pihak berwenang di Bangladesh yang semakin nyata untuk memulangkan komunitas Rohingya tidak membebaskan pemerintah dari tanggung jawabnya untuk memastikan perlindungan terhadap mereka.”

Pihak berwenang Bangladesh melaporkan bahwa sejumlah kelompok bersenjata telah membunuh lebih dari 40 pengungsi Rohingya di kamp-kamp pengungsi pada tahun 2022, sementara setidaknya 48 pengungsi dibunuh pada paruh pertama tahun 2023. Menurut komunitas Rohingya, jumlahnya jauh lebih tinggi. Tujuh orang pengungsi dilaporkan dibunuh dalam tiga insiden pada tanggal 6 dan 7 Juli, termasuk seorang sub-majhi (pimpinan komunitas di kamp) dan diduga anggota kelompok militan.

Banyak dari mereka yang terbunuh adalah pemimpin komunitas Rohingya atau anggota keluarga mereka. Sejumlah pengungsi diculik demi uang tebusan dan diancam atau disiksa. Beberapa orang Rohingya melaporkan keterlibatan kelompok bersenjata dalam kekerasan seksual, pernikahan paksa, dan perekrutan anak.

Sejumlah pengungsi menggambarkan sebuah lingkungan yang penuh kebrutalan dan ketakutan yang semakin meningkat, dengan terus tumbuhnya kekhawatiran akan menjadi sasaran geng-geng kriminal dan orang-orang yang mengaku berafiliasi dengan kelompok bersenjata Islam. “Setiap malam kami mendengar suara tembakan,” kata seorang pengungsi Rohingya kepada Human Rights Watch. “Saat tembakan dimulai, kami berpelukan erat dan menunggu, takut kalau-kalau kami jadi sasaran selanjutnya.”

Para korban penyerangan menyebutkan anggota berbagai kelompok sebagai pihak yang bertanggung jawab, termasuk Arakan Rohingya Salvation Army atau Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA), Organisasi Solidaritas Rohingya (RSO), geng Munna, Islami Mahaz, dan beberapa kelompok lainnya. Kementerian Pertahanan Bangladesh melaporkan bahwa setidaknya 11 kelompok bersenjata beroperasi di kamp-kamp tersebut. Beberapa geng kriminal yang terlibat dalam penyelundupan narkoba dan perdagangan manusia bersaing untuk mendapatkan kendali yang lebih besar di kamp-kamp tersebut, membuat para pengungsi terjebak di tengah-tengah. Para aktivis, orang terpelajar, dan majhi yang biasanya menjadi sasaran umum, membawa dampak mengerikan bagi masyarakat sipil Rohingya. Setidaknya 16 majhi dibunuh pada paruh pertama tahun 2023.

Tidak ada sistem peradilan pidana yang tersedia bagi para pengungsi; mereka tidak bisa pergi ke polisi untuk membuat laporan. Sebaliknya, mereka harus mendatangi otoritas administrasi Bangladesh atau para petugas keamanan di kamp. Beberapa keluarga mengaku tidak bisa mendapatkan persetujuan yang diperlukan dari penanggung jawab kamp (CiC), seorang pejabat Bangladesh, untuk mengajukan laporan ke polisi. Kata beberapa keluarga lain, mereka memperoleh izin untuk membuat pengaduan ke Batalion Polisi Bersenjata (APBn) tetapi prosesnya mandek, karena batalion tersebut tidak punya fungsi investigasi sipil. Sejumlah pengungsi yang berhasil melaporkan kasus mereka di kantor polisi setempat mengatakan tidak ada tindak lanjut, seringkali karena mereka tidak dapat membayar suap dan biaya hukum yang diminta.

Beberapa majhi yang terbunuh atau diserang selama tahun lalu menjadi sasaran orang yang diduga anggota ARSA, yang menganggap para korban adalah informan kiriman otoritas Bangladesh. Para Majhi mengatakan pihak berwenang memaksa mereka untuk mengambil bagian dalam jaga malam, bergabung dengan penggerebekan polisi, dan mengidentifikasi anggota kelompok bersenjata, terkadang di hadapan para tersangka. Anggota keluarga majhi yang terbunuh mengatakan mereka sebelumnya telah meminta bantuan dari penanggung jawab kamp dan APBn, beberapa bahkan memberikan daftar berisi nama sejumlah orang yang mengancam mereka, tetapi diabaikan.

Dari 26 kasus yang didokumentasikan oleh Human Rights Watch, hanya 3 di antaranya yang berujung pada penangkapan. Sebagian besar korban yang diwawancarai mengatakan bahwa gerombolan atau kelompok bersenjata mengancam dan melecehkan mereka setelah penyerangan awal, mengintimidasi mereka agar tetap bungkam.

Banyak korban menduga ada kolusi antara aparat keamanan dan penjahat. APBn, yang telah mengawasi keamanan di kamp-kamp sejak Juli 2020, bertanggung jawab atas pelanggaran yang meluas terhadap pengungsi, termasuk pemerasan, penangkapan sewenang-wenang, dan pelecehan.

Tanggapan polisi terhadap meningkatnya kekerasan ditandai dengan pelecehan, penggerebekan tanpa pandang bulu dan aksi kekerasan. Para pengungsi menuduh bahwa korupsi APBn telah memungkinkan aktivitas kriminal berkembang biak, sementara orang-orang Rohingya yang tidak melakukan kejahatan malah ditangkap.

“Ada banyak sekali pembunuhan yang terjadi pada siang bolong, di dekat kamp polisi APBn,” kata seorang relawan lembaga bantuan internasional. “Bahkan setelah mendengar suara tembakan, mereka tidak mengambil tindakan. Ketika terjadi pembunuhan atau kekerasan, polisi menangkap orang yang tidak bersalah, bukan pelaku sebenarnya. Pelaku yang sebenarnya diberi izin melakukan hal yang sama lagi.”

Warga Rohingya yang mencari perlindungan diharuskan pindah ke tempat penampungan atau kamp lain, tanpa dukungan apapun. Beberapa orang tua mengirim anak-anak mereka ke Malaysia, meski harus menempuh perjalanan berbahaya dengan perahu, untuk melindungi mereka dari serangan. Para korban dan anggota keluarga mereka menggambarkan ketakutan dan cedera yang terus berlanjut setelah serangan, tanpa akses ke perawatan kesehatan fisik dan mental yang memadai.

Pihak berwenang Bangladesh bersikukuh bahwa pemulangan orang-orang Rohingya ke Myanmar adalah satu-satunya solusi atas situasi berbahaya di pemukiman pengungsi. Namun, kondisi untuk memulangkan orang Rohingya secara aman, berkelanjutan, dan bermartabat tidak ada saat ini. Pemerintah Bangladesh seharusnya mengembangkan dan menjalankan kebijakan keamanan yang menghormati hak asasi manusia guna melindungi penduduk kamp, ​​berkonsultasi dengan para pengungsi dan badan-badan PBB, termasuk Badan Pengungsi PBB (UNHCR), Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), UN Women, dan Dana Kependudukan PBB.

Badan-badan PBB seharusnya menugaskan dan melatih para personel untuk menerima pengaduan yang diajukan oleh pengungsi, dengan prosedur pelaporan dan rujukan yang efisien dan rahasia untuk layanan hukum, medis, dan perlindungan, termasuk perawatan yang berpusat pada korban selamat. Sumber daya seperti rumah aman dan hotline perlindungan UNHCR seharusnya diperluas.

Pemerintah negara-negara donor serta badan-badan PBB seharusnya mendesak Bangladesh untuk mencabut hambatan birokrasi dalam mengakses polisi dan pengadilan setempat, serta semua pembatasan terhadap akses ke pendidikan dan mata pencarian untuk mengurangi kegiatan ekonomi ilegal dan berbahaya di kamp-kamp. Pihak berwenang juga seharusnya menghentikan tindakan Batalion Polisi Bersenjata (APBn) yang memanfaatkan para pengungsi untuk menjalankan patroli malam wajib.

“Pemerintah Bangladesh perlu melindungi para pengungsi Rohingya, bukan justru membiarkan unsur-unsur kriminal mengusir mereka,” kata Ganguly. “Pemerintah negara-negara donor seharusnya membantu memenuhi kebutuhan kemanusiaan pengungsi Rohingya di Bangladesh sambil mendesak pembentukan pemerintahan sipil yang menghormati hak asasi manusia di Myanmar agar suatu hari nanti mereka bisa pulang.”

Kekerasan dan Pengingkaran Keadilan, Perlindungan bagi Pengungsi Rohingya

Sekitar satu juta pengungsi etnis Rohingya berada di Bangladesh, tinggal di kamp-kamp yang luas dan penuh sesak di Cox's Bazar atau pulau lumpur Bhasan Char yang terisolasi. Sebagian besar dari mereka melarikan diri dari kekejaman militer Myanmar pada 2017. Kekerasan di kamp-kamp tersebut semakin menjadi-jadi di tengah pembatasan yang semakin dipaksakan oleh Bangladesh terhadap mata pencarian, pergerakan, dan pendidikan di kamp-kamp, termasuk pelecehan di pos-pos pemeriksaan serta penutupan sejumlah sekolah dan pasar komunitas.

Pada September 2021, tokoh masyarakat dan advokat HAM Mohib Ullah ditembak dan dibunuh di kamp Kutupalong setelah menerima ancaman pembunuhan yang tidak ditanggapi oleh pihak berwenang. “Kelompok bersenjata mengincar para aktivis karena kekuasaan,” kata seorang aktivis. “Mereka ingin agar kamp-kamp itu berada di bawah kendali mereka. Jika para aktivis dan orang terpelajar menjadi pemimpin yang lebih kuat, warga Rohingya biasa tidak akan takut lagi dengan kelompok bersenjata, dan mereka akan kehilangan kendali dan keuntungan.”

Sejumlah pengungsi mengatakan kelompok bersenjata merekrut remaja laki-laki berusia 13 tahun ke atas dengan iming-iming. “Setiap kali anggota kelompok bersenjata melihat remaja berkeliaran, mereka akan mendekati remaja itu dan berkata, ‘Lihat, saya bisa memberimu sesuatu yang akan membuat kamu kuat,’” kata seorang aktivis. “Dan mereka memberi para remaja itu senjata dan kadang juga uang.”

Pengungsi Rohingya di Bangladesh tidak memiliki status hukum yang diakui, yang menempatkan mereka pada posisi yang sulit di bawah hukum domestik dan membuat mereka rentan terhadap pelanggaran HAM. Pemerintah Bangladesh memiliki kewajiban di bawah hukum HAM internasional untuk memastikan agar hak setiap orang di yurisdiksinya, termasuk pengungsi, dilindungi, dan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab.

Dalam salah satu dari tiga kasus terdokumentasi yang berujung pada penangkapan, di mana seorang perempuan ditikam, keluarganya mengatakan bahwa polisi membebaskan tersangka setelah dia membayar suap. Dalam kasus lain, polisi menahan tiga orang yang tidak terlibat dalam pembunuhan, kata keluarga korban. Dalam kasus ketiga, polisi menahan beberapa pria yang terlibat dalam pembunuhan, tetapi keluarganya diancam oleh orang lain yang mereka katakan terlibat tetapi tidak ditangkap.

Pada pertengahan tahun, Rencana Tanggap Bersama PBB 2023 untuk krisis kemanusiaan Rohingya hanya menerima seperempat dari kontribusi negara donor yang kebutuhan totalnya sebesar US$876 juta atau sekitar Rp13 triliun. Karena kekurangan dana ini, Program Pangan Dunia (WFP) memotong jatah makanan warga Rohingya hingga sepertiga sejak Februari, turun dari $12 atau Rp180 ribu menjadi hanya $8 atau Rp120 ribu per bulan, memicu semakin tingginya keputusasaan dan meluasnya kegiatan terlarang seperti penyelundupan narkoba, pemerasan, dan perdagangan manusia di kamp-kamp pengungsi. Negara-negara donor, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, dan Australia, seharusnya bertindak untuk memenuhi kebutuhan perlindungan yang amat besar bagi para pengungsi Rohingya.

 

Nama-nama dan sejumlah detail lainnya dirahasiakan untuk melindungi identitas para pengungsi.

 

Kasus-kasus Pembunuhan

Human Rights Watch mendokumentasikan sembilan pembunuhan terhadap majhi, yang menjadi sasaran utama kelompok bersenjata dan gerombolan kriminal.

“Sejumlah kelompok bersenjata ini memutuskan untuk meningkatkan aksi kekerasan di beberapa kamp, membunuh orang, mengincar para majhi dan aktivis, untuk menciptakan suasana ketakutan sehingga mereka dapat beroperasi di kamp-kamp tanpa gangguan otoritas Bangladesh,” kata seorang aktivis. “Mereka merekrut banyak anak dan remaja, yang kemudian dipaksa untuk bergabung, atau menawari anak dan remaja itu sejumlah uang.”

Menurut keterangan beberapa anggota keluarga, kerabat mereka yang adalah majhi dibunuh setelah pihak berwenang memaksa mereka mengidentifikasi anggota kelompok bersenjata. Saudara laki-laki dari seorang kepala majhi yang terbunuh pada bulan Februari mengatakan saudara laki-lakinya berusaha untuk mengundurkan diri setelah sebelumnya diculik dan disiksa, tetapi pihak berwenang menolak pengunduran dirinya:

Dia menjadi target setelah pemerintah memanfaatkan dirinya untuk melawan ARSA. Dia harus mematuhi perintah penanggung jawab kamp (CiC) dan penegak hukum di kamp. ARSA juga ingin mengontrolnya karena dia adalah seorang kepala majhi dan mereka ingin dia membolehkan pergerakan bebas mereka dan memberi tahu mereka tentang penggerebekan. Dia ingin mengundurkan diri dari posisinya sebagai kepala majhi karena berisiko, tetapi otoritas Bangladesh tidak mengizinkannya.

Sejumlah anggota keluarga mengatakan bahwa para majhi terjebak di antara pihak berwenang dan kelompok bersenjata. Janda seorang majhi yang terbunuh pada bulan Maret mengatakan:

Pihak berwenang memaksa para majhi untuk memberikan segala macam informasi, memperingatkan bahwa mereka akan dikirim ke penjara sebagai kaki tangan ARSA. Kata suami saya, dia sangat bingung harus berbuat apa. Jika majhi tidak membantu pihak berwenang, mereka menjadi kaki tangan ARSA, tetapi ketika mereka melawan ARSA, mereka menjadi kaki tangan pihak berwenang.

Tak satu pun dari delapan anggota keluarga yang mengaku telah melaporkan ancaman kepada pihak berwenang Bangladesh diberikan perlindungan. Saudara laki-laki dari seorang majhi yang terbunuh mengatakan bahwa pihak berwenang bersikeras untuk membantunya dalam menindak ARSA, lalu menolak permintaannya untuk mendapatkan perlindungan:

Pihak berwenang selalu berusaha menunjukkan bahwa mereka memiliki kebijakan zero-tolerance terhadap ARSA. Tetapi dengan ARSA melakukan berbagai kejahatan dan pembunuhan di kamp, jelas terlihat bahwa pada kenyataannya, pihak berwenang menempatkan para majhi dalam bahaya, sementara para penjahat tetap tidak tersentuh. [Saudara laki-laki saya] ditugaskan oleh APBn untuk memobilisasi para majhi di bawahnya untuk memberi tahu polisi tentang keberadaan ARSA. Hanya satu minggu kemudian, dia terbunuh.

Janda dari sub-majhi yang terbunuh mengatakan:

Sebelum dibunuh, [suami saya] menyerahkan daftar orang-orang yang mengancamnya ke CiC dan APBn, tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Jika mereka melakukan sesuatu, dia mungkin bisa diselamatkan. APBn tidak mengambil tindakan apa pun untuk membantu, mereka hanya meminta suami saya agar berusaha lebih keras dalam menjaga kamp pada malam hari.

Beberapa majhi berusaha bersembunyi tetapi diharuskan untuk terus membantu otoritas di kamp dalam tugas pengawasan. Seorang janda lain mengatakan:

[Suami saya] saat itu sedang menghadapi ancaman, jadi dia tidak terlalu sering datang ke penampungan. Namun pada saat itu, para majhi wajib menjaga kamp pada malam hari, seperti yang diinstruksikan oleh APBn. Malam itu, setelah bertugas, dia kembali ke tempat penampungan kami sekitar jam 4 pagi. Sekitar 20 sampai 30 orang bersenjata mengepung tempat penampungan dan melepaskan tembakan. Dia mencoba melarikan diri tetapi tertangkap. Dia berteriak dan memohon dibiarkan hidup. Saya mendengar dua tembakan, lalu dia mencoba melarikan diri, lalu mereka menembak lagi.

Kelompok bersenjata juga membunuh anggota keluarga dari orang-orang yang dianggap informan sebagai bentuk balas dendam. Seorang pengungsi mengatakan bahwa anggota ARSA membunuh adik laki-lakinya pada bulan Maret karena orang yang diwawancarai bekerja untuk polisi:

Ketika ARSA mulai membunuh orang-orang yang dihormati di masyarakat dan meminta uang tebusan, saya mulai bekerja dengan penegak hukum untuk mengidentifikasi anggota ARSA. Saya ikut jadi incaran, tetapi saya tidak pernah berpikir mereka akan membunuh saudara laki-laki saya. Pada hari dia diculik, saya memberi tahu polisi dan militer. Saya tahu saya bertanggung jawab atas kematian saudara laki-laki saya. Tapi saya akan tetap membantu polisi kapanpun saya bisa karena ARSA adalah penjahat. Mereka membunuh orang, dan mereka harus ditangkap.

Beberapa orang lain menjadi sasaran karena persaingan antargeng. Menurut laporan, ada seorang yang diduga pendukung ARSA ditembak dan ditikam pada bulan April oleh anggota kelompok militan Islami Mahaz. Dia meninggal keesokan harinya. Seorang anggota keluarga mengatakan bahwa Islami Mahaz diizinkan beroperasi secara bebas di kamp mereka karena itu membantu pasukan keamanan mengidentifikasi anggota ARSA. “Polisi tidak pernah datang membantu saya bahkan setelah mereka mendengar penembakan itu,” kata anggota keluarga tersebut. “Saya tidak membuat laporan apa pun karena tidak akan ada keadilan. Kelompok itu beroperasi dengan bebas di kamp. Mereka berhubungan baik dengan polisi.”

Dalam semua kasus, kecuali satu kasus, mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan tetap bebas berkeliaran di kamp, menurut keluarga korban. Beberapa anggota keluarga mengaku enggan melaporkan kasusnya karena takut akan adanya kolusi antara polisi dan pembunuh, atau mereka mencabut laporan karena ada ancaman. “ARSA berhubungan baik dengan APBn saat itu,” kata seorang janda. Dia sudah berusaha memberi tahu polisi tentang tersangka pembunuh suaminya tetapi dia mengatakan kasusnya mandek. “Anggota ARSA minum teh dengan APBn di kedai-kedai. Mereka bahkan nongkrong di beberapa tempat bersama para terdakwa. Saya juga diancam untuk membatalkan kasus ini.”

Banyak keluarga yang diancam terpaksa pindah, terutama mereka yang berusaha mencari keadilan. Beberapa tidak dapat pindah ke kamp lain karena kekurangan sumber daya atau dukungan yang mereka butuhkan.

“Suami saya pernah bekerja untuk CiC dan pihak berwenang,” kata seorang janda. “Jika mau, mereka bisa memberikan perlindungan kepadanya. Tapi mereka tidak pernah melakukannya, jadi dia dibunuh. Sekarang saya tidak bisa tinggal di tempat penampungan saya. Jika saya meminta bantuan CiC, mereka mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa.”

Perempuan itu meninggalkan kamp setelah kematian suaminya, tetapi masih hidup dalam ketakutan:

Saya merasa takut para pembunuh bakal datang lagi. Saya punya lima anak. Mereka juga hidup dalam ketakutan. Setiap malam saya selalu mendengar suara tembakan. Saya tidak pernah menyadari mereka akan mengincar suami saya. Suami saya biasa menjaga hubungan dengan semua orang karena dia khawatir bakal kehilangan nyawa.

Seorang perempuan mengaku tidak bisa kembali ke rumah karena terus-menerus menghadapi ancaman pembunuhan. Sebagai seorang pemimpin masyarakat, dia telah menghadapi ancaman dan kekerasan selama bertahun-tahun dari sejumlah geng, yang puncaknya adalah serangan baru-baru ini yang menewaskan saudara perempuannya, sementara dia juga putrinya terluka parah. Perempuan itu mengaku mereka mengalami masalah medis lanjutan akibat penembakan itu: “Saya dan putri saya tidak mendapatkan perawatan yang layak, tetapi kami tidak mampu berobat ke rumah sakit swasta. Kami ini memang pengungsi, tetapi kami juga manusia. Polisi bahkan tidak memperlakukan kami seperti manusia. Mereka menganggap kami sebagai sampah, jadi meskipun orang-orang kami dibunuh, mereka tidak peduli.”

 

Penculikan, Penyiksaan, dan Pemerasan

Kelompok-kelompok bersenjata di kamp semakin sering menculik pengungsi Rohingya demi uang tebusan, perekrutan paksa, atau perdagangan manusia. Human Rights Watch mendokumentasikan 10 kasus penculikan.

Enam korban menjelaskan penyiksaan terhadap mereka selama penculikan itu. “Saya hanya diberi makan roti dan air,” kata seorang remaja laki-laki yang diculik pada bulan Februari dan disekap selama seminggu, sampai keluarganya membayar uang tebusan. “Mereka memukuli saya dengan kawat listrik tebal. Mereka berusaha membunuh saya dan mengancam akan melakukannya. Saya sangat takut. Salah satu dari mereka mencoba memperkosa saya. Saya masih merasa sangat khawatir ketika memikirkan penculikan itu.”

“Saya disekap selama empat hari,” kata pengungsi laki-laki lain tentang penculikannya yang terjadi pada bulan Maret. “Mata saya ditutup dan tangan serta kaki saya diikat dengan tali. Saya hanya diberi sedikit makanan dan air. Saya dipukuli dan ditanya berapa uang yang bisa ibu saya bayarkan. Saya merasa sangat tidak berdaya.” Dia mengatakan siksaan yang dia alami sangat parah sehingga dia tidak bisa berjalan.

Beberapa anggota keluarga mengaku sedikit sekali mendapat bantuan atau bahkan tidak sama sekali setelah melaporkan kerabat yang hilang ke pihak berwenang. “Kami tidak mendapatkan banyak kerja sama dari polisi,” kata saudara laki-laki korban. “Mereka hanya mengatakan akan berusaha menemukan nomor ponsel yang digunakan untuk menelepon dan meminta tebusan, yang mana kami juga punya. Mereka menagih kami dua uang suap untuk nomor ponsel itu. Mereka tidak menjalankan operasi sendiri untuk menyelamatkan saudara laki-laki saya.”

Dua keluarga mengatakan bahwa APBn mengklaim berjasa menyelamatkan anggota keluarga mereka padahal mereka sama sekali tidak ada atau sedikit sekali memberi dukungan. “Setelah saudara laki-laki saya diselamatkan, APBn mewawancarainya dan berfoto bersamanya untuk mencari pujian karena telah menyelamatkannya,” kata saudara laki-laki korban. “Kami sangat terkejut melihat sirkus mereka. Kami terus-menerus meminta bantuan polisi untuk menyelamatkan saudara kami, tetapi mereka tidak melakukan apa-apa. Kami harus membayar uang tebusan yang sangat besar dan menyelamatkannya sendiri.”

Ibu dari korban yang diculik dan disiksa mengatakan:

APBn tidak melakukan apa-apa, tetapi mereka datang untuk mengklaim berjasa karena telah menyelamatkan anak saya. Kami membawanya ke rumah sakit terdekat di mana dia dirawat selama tiga hari. Saya berusaha menghubungi polisi dan tim perlindungan UNHCR untuk mendapatkan keadilan. Tetapi keduanya mengatakan, jika saya tidak mengenali penculiknya, tidak ada yang bisa dilakukan. Saya memberi mereka nomor telepon penculik itu. Tidak ada kasus yang diajukan. Polisi tidak peduli dengan pengajuan kasus. Mungkin mereka berharap dia kembali sebagai mayat, bukan dalam keadaan hidup. Jika mau, mereka bisa menyelamatkannya.

Para majhi dan tokoh masyarakat juga menjadi sasaran penculikan oleh ARSA. Seorang guru laki-laki mengatakan terduga anggota ARSA telah menculik dan memukulinya tiga kali karena dia menentang kegiatan kriminal mereka, yang paling baru terjadi pada bulan Maret:

Mata saya ditutup, dan mulut saya disumpal dengan kain sehingga saya tidak bisa berbicara atau berteriak. Mereka menuduh saya membantu polisi melawan ARSA. Mereka mulai memukuli punggung dan kaki saya dengan tongkat dan batang kayu. Mereka menanyakan apa yang jadi keinginan terakhir saya, seakan-akan mereka akan membunuh saya. Saya mendengar mereka berbicara tentang bagaimana mereka akan menyembunyikan mayat saya setelah membunuh saya. Mereka mengatakan akan menyembunyikan mayat saya di jamban seperti yang mereka lakukan pada orang lain.

Guru itu mengatakan mereka terus menyiksanya dan menginterogasinya tentang alasan dia tidak meninggalkan kamp seperti perintah mereka. Dia tetap di situ, katanya, karena keluarga dan muridnya.

“Masalahnya adalah pihak berwenang Bangladesh tidak bisa memastikan perlindungan terhadap kami,” kata seorang majhi yang diculik pada tahun 2022 dan diancam akan dibunuh jika dia terus memberikan informasi kepada pasukan keamanan. “Pihak berwenang mengambil semua informasi ini dari kami tetapi kemudian menyaksikan kami dibunuh oleh ARSA karena kami membantu mereka. Kami menjadi sasaran kelompok militan dan pihak berwenang. Ada banyak rekan saya yang terbunuh.”

Sebuah geng menculik seorang mantan majhi pada bulan Maret dan memukulinya dengan tongkat sampai keluarganya membayar 100.000 taka (sekitar Rp14 juta) sebagai pembebasannya. Keluarganya tidak pernah melaporkan serangan itu karena takut akan hubungan penyerang dengan polisi. “Kelompok itu berbasis di kamp kami,” kata salah seorang putranya. “Mereka bebas bergerak dan memiliki hubungan baik dengan pihak berwenang, jadi kami tidak pernah berani mengadu ke polisi tentang penculikan itu.”

Beberapa anggota keluarga mengatakan, para tersangka bebas berkeliaran di kamp, ​​sementara polisi mengabaikan laporan keluarga. Beberapa lainnya mengaku tidak            membuat laporan karena ancaman atau karena mereka berpikir tidak akan ada penyelidikan yang adil. Pengungsi yang disiksa mengatakan mereka selalu merasa takut, tanpa akses ke layanan kesehatan mental di kamp.

“Saya masih punya bekas luka di punggung, kaki, dan di mana-mana akibat penyiksaan,” kata seorang pria yang harus meninggalkan rumahnya karena terus-menerus dilecehkan. “Sejak penculikan itu, saya tidak tinggal di tempat penampungan. Saya menolak untuk melapor karena saya khawatir dengan keselamatan keluarga saya, dan saya tidak punya uang untuk memperjuangkan kasus ini. Para anggota ARSA terus mengancam keluarga saya meskipun saya tidak melapor. Pemimpin mereka baru-baru ini menelepon saya dan mengancam akan membunuh saudara laki-laki saya.”

 

Kekerasan Seksual dan Kawin Paksa

Pada awal tahun 2023, seorang perempuan menemukan putrinya yang berusia 6 tahun tidak sadarkan diri di depan tempat penampungan mereka. Dia membawanya ke rumah sakit, lalu seorang dokter memeriksanya dan menemukan bahwa gadis kecil itu telah diperkosa, menurut dokumen medis yang ditinjau oleh Human Rights Watch. Ibu gadis itu mencoba mengajukan laporan kepada APBn dan CiC, tetapi kesulitan mendapatkan bantuan:

APBn memberi tahu saya karena ini adalah “kasus sensitif”, saya hanya dapat mengajukan pengaduan ke CiC. Saya bertekad untuk mengambil tindakan hukum, tetapi saya membutuhkan dukungan dari CiC atau pihak berwenang Bangladesh untuk melakukannya, karena saya adalah orang Rohingya. Saya tidak bisa pergi ke kantor polisi seperti orang Bangladesh. Tapi sayangnya, CiC tidak memberi saya izin atau mau menemui saya lagi selama lima hari berikutnya.

Ketika perempuan itu akhirnya bisa bertemu dengan polisi setempat, petugas menuduhnya memalsukan dokumen medis untuk mengajukan kasus tersebut. Dia mulai menerima ancaman dari pria yang diidentifikasi putrinya sebagai penyerang dan harus memindahkan keluarganya ke kamp lain, tanpa dukungan apa pun untuk membangun tempat penampungan baru. “Saya belum bisa mengambil tindakan hukum terhadap orang-orang itu karena pihak berwenang tidak mau menjamin keadilan untuk kami,” katanya. “Hanya sedikit simpati yang mereka miliki atas apa yang menimpa putri saya.”

Dia mengeluarkan uang sebesar 400.000 taka (Rp55 juta) untuk mengirim dua putrinya yang lebih tua ke Malaysia demi keselamatan mereka. “Putri saya [6 tahun] hidup dalam ketakutan terus-menerus,” katanya.

Beberapa perempuan atau anggota keluarga mereka menggambarkan anggota kelompok bersenjata melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan yang sudah menikah yang suaminya pergi ke Malaysia untuk bekerja. Seorang perempuan yang suaminya telah meninggalkan kamp dilaporkan diperkosa oleh seorang anggota kelompok militan, yang merekam serangan itu dan mengunggahnya di media sosial.

Beberapa pengungsi Rohingya melaporkan kasus kawin paksa ke Human Rights Watch. “Sangat berbahaya tinggal di kamp, terutama bila ada anak perempuan di rumah Anda,” kata seorang ibu.

Orang-orang yang diduga militan telah mengancam akan membunuh anggota keluarga yang menentang pernikahan paksa remaja putri mereka. Seorang remaja perempuan berusia 16 tahun mengaku dipaksa menikah dengan seorang anggota ARSA saat dia baru berusia 14 tahun. Para tersangka anggota ARSA menculik ayah dan saudara laki-lakinya, mengancam akan membunuh mereka kecuali mereka setuju gadis itu menikah dengan seorang pria beristri berusia 28 tahun. Kedua pria itu baru dibebaskan setelah mereka menyetujui pernikahan itu. Gadis itu melaporkan bahwa pria yang dipaksa menikah dengannya melakukan kekerasan fisik padanya.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country
Tags