Skip to main content

(Pernyataan pembuka Human Rights Watch yang disampaikan oleh peneliti senior Carlos Conde kepada the Sub-komite Hak Asasi Manusia di Parlemen Eropa, 7 September 2023. Rekaman sidang dapat dilihat di sini.)

Terima kasih, Bapak Ketua, Para Anggota Parlemen yang terhormat,

Human Rights Watch menghargai kesempatan untuk berbicara di hadapan subkomite pada hari ini tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlanjut di bawah pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr.

Saya akan memaparkan gambaran umum tentang sejumlah masalah hak asasi manusia yang utama di negara ini, dimulai dengan "perang melawan narkoba," tetapi tidak hanya berfokus pada hal itu, dan mengungkapkan bagaimana impunitas atas pelanggaran tersebut masih dilazimkan.

Pertama-tama saya ingin berterima kasih kepada Parlemen ini atas perhatiannya terhadap situasi di negara saya dan berbagai upaya yang terus dilakukan, termasuk resolusi mendesak serta kunjungan Parlemen baru-baru ini, yang telah bergema kuat di Filipina. Dalam hal ini, kami menyesalkan bahwa kunjungan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen baru-baru ini sangat tidak sejalan dengan beberapa pesan yang berulang kali diungkapkan oleh Parlemen Eropa, termasuk selama kunjungan Anda baru-baru ini, dan oleh Perwakilan Khusus Uni Eropa untuk Hak Asasi Manusia, Eamon Gilmore, pada bulan April tahun ini.

Meski pemerintahan baru tidak terlalu konfrontatif dan lebih diplomatis dibanding yang sebelumnya, itu tidak berarti bahwa situasi hak asasi manusia di negara ini telah membaik. Kami mendorong Uni Eropa, dalam semua komponennya, untuk tetap fokus pada situasi di lapangan, dan bukan pada retorika maupun berbagai janji samar-samar yang pemerintah sampaikan. Retorika yang lebih baik tentang hak asasi manusia memang kami sambut baik, tetapi pemerintah juga perlu menjalankan apa yang dikatakannya, dan saya minta maaf untuk mengatakan bahwa, sejauh ini, pemerintahan belum melakukannya.

Berikut ringkasannya:

Pertama, meskipun Presiden Marcos mengatakan secara terbuka bahwa "perang melawan narkoba" yang diprakarsai oleh pendahulunya, Rodrigo Duterte, akan memiliki "wajah baru" yang bertujuan untuk rehabilitasi narkoba, pembunuhan di luar hukum terkait narkoba masih terus berlanjut. Hal yang perlu dicatat, Marcos belum membatalkan keputusan eksekutif yang memberikan kewenangan luas kepada polisi untuk melakukan penggerebekan dan operasi anti-narkoba, yang secara efektif menjadi dasar hukum yang digunakan polisi untuk membenarkan pembunuhan di luar hukum.

Menurut pemantauan independen dari Pusat Studi Dunia Ketiga di University of the Philippines, sebanyak 397 orang telah terbunuh dalam "kekerasan terkait narkoba" sejak 30 Juni 2022, hari pertama pemerintahan Marcos, hingga 31 Agustus tahun ini – rata-rata sekitar satu kematian setiap hari.

Pertanggungjawaban atas berbagai pembunuhan ini belum menjadi prioritas bagi pemerintahan Duterte atau pemerintahan saat ini. Dari total kematian – perkiraan berkisar dari 6.252, menurut angka resmi di kepolisian, hingga lebih dari 30.000, menurut sejumlah kelompok hak asasi manusia dalam negeri – hanya dua kasus yang telah berakhir dengan penghukuman terhadap para penyerang. Kepolisian mengklaim telah menyelidiki 300 pembunuhan tetapi hanya mengajukan tuntutan terhadap 52 petugas polisi – kasus-kasus ini masih tertunda. Sebagian besar kematian masih belum diselidiki.

Akhirnya mengenai hal ini, pemerintah Filipina, termasuk Presiden Marcos, telah mengecam penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait dengan pembunuhan "perang narkoba" di bawah pemerintahan Duterte. Marcos adalah sekutu Duterte, yang putrinya menjabat sebagai wakil presiden. Pemerintah Filipina telah bertekad untuk tidak bekerja sama dengan penyelidikan ICC, tetapi pada saat yang sama tidak melakukan banyak hal untuk menjamin adanya pertanggungjawaban melalui jalur domestik.

Kedua, pemerintah Filipina terus mengincar para aktivis politik sayap kiri, pemimpin masyarakat sipil dan mereka yang dianggap sebagai pengkritik dengan ancaman, pelecehan hukum, dan kadang-kadang kekerasan. Pelecehan ini sering mengambil bentuk “red-tagging” atau “penandaan merah”, melabeli para pengkritik sebagai pendukung Tentara Rakyat Baru (NPA) yang berhaluan komunis. Penandaan merah ini sering diikuti oleh pengajuan tuduhan palsu dan, dalam beberapa kasus, penuntutan terorisme. Kelompok-kelompok hak asasi manusia dalam negeri telah menyatakan keprihatinan mereka tentang penyalahgunaan Undang-Undang Anti-Terorisme tahun 2020 untuk melecehkan para aktivis politik.

Satuan tugas pemerintah yang menangani pemberontakan sering berada di belakang penandaan merah. Beberapa pejabat – seperti Menteri Kehakiman Crispin Remulla – juga memberi tanda merah pada sejumlah kelompok. Remulla telah memberi tanda merah pada Human Rights Watch dalam sambutannya kepada pers pertengahan Juli 2023. Bahkan pemerintahan Duterte tidak melakukan apa yang dilakukan pemerintah Marcos sekarang. Para pejabat sering menggunakan penandaan merah untuk mengincar para pemimpin serikat pekerja dan pendukung mereka, dengan melecehkan mereka di rumah mereka untuk mencegah mereka bergabung dengan serikat pekerja. Para guru, hakim, pengacara, dan jurnalis, juga telah diberi tanda merah.

Mantan senator Leila de Lima, pengkritik utama "perang narkoba," masih berada dalam tahanan polisi selama lebih dari tujuh tahun, menghadapi tuduhan palsu terkait narkoba. Kasus-kasus yang menimpa situs berita Rappler dan CEO-nya, Maria Ressa, masih terus berlanjut.

Tekanan dari aktor-aktor internasional masih sangat diperlukan untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Filipina.

Harap dicatat bahwa, saat ini, tidak ada pemantauan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap situasi di Filipina. Ada Program Bersama PBB (UNJP) tetapi itu adalah program kerja sama teknis yang bertujuan untuk pengembangan kapasitas, bukan memantau situasi di negara tersebut.

Kami telah mendesak negara-negara anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, termasuk negara-negara anggota Uni Eropa, untuk memperbaiki hal itu dan mengubah mandat UNJP, agar dapat mencakup komponen pemantauan dan pelaporan.

Saat ini, pemantauan GSP + oleh Uni Eropa adalah satu-satunya mekanisme pelaporan internasional tentang hak asasi manusia di Filipina. Kami memahami bahwa laporan UE akan terbit dalam hitungan minggu.

Kami tidak tahu bagaimana persidangan untuk reformasi GSP + akan berlanjut, dan kami mengharapkan adanya reformasi, tetapi bagaimanapun Filipina tetap terikat oleh kewajiban hak asasi manusia GSP +, dan mungkin akan tetap seperti itu selama bertahun-tahun, selama waktu yang dibutuhkan untuk menyimpulkan negosiasi untuk Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA). Sampai saat itu, sangat penting bagi UE untuk mengambil pendekatan yang lebih vokal, dan menyatakan dengan jelas dan terbuka: tindakan spesifik apa yang diharapkan dari pemerintah Filipina untuk mematuhi kewajiban GSP + mereka, apa konsekuensinya jika Filipina gagal mematuhi kewajiban itu, serta tindakan apa yang perlu diambil oleh pemerintah agar Komisi, Parlemen dan Dewan benar-benar dapat mempertimbangkan untuk menyelesaikan dan meratifikasi Perjanjian Perdagangan Bebas.

Ini semua menjadi semakin penting setelah kunjungan Presiden von der Leyen yang tidak kritis, dan kami berharap Uni Eropa akan secara terbuka dan tegas memperbaiki posisinya dan mengirim pesan yang sangat kuat kepada pihak berwenang Filipina bahwa kemajuan dalam hubungan bilateral, termasuk perdagangan, bergantung pada kemajuan hak asasi manusia, dan bahwa ada sejumlah konsekuensi atas berbagai pelanggaran dan impunitas yang terus-menerus.

Terima kasih banyak.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country