Skip to main content

Filipina: Tak Terkendalinya Pembunuhan Terhadap Anggota Serikat Buruh

Kematian Seorang Organisator Serikat Buruh di Provinsi Rizal adalah yang Terbaru dalam Rangkaian Penganiayaan

Aksi protes atas pembunuhan terhadap pemimpin gerakan buruh Jude Thaddeus Fernandez di Manila, Filipina, 5 Oktober 2023. © 2023 AlterMidya

(Manila) – Pembunuhan atas seorang pemimpin serikat buruh di provinsi Rizal oleh polisi Filipina menggarisbawahi berlanjutnya pengincaran terhadap anggota serikat buruh di Filipina dan perlunya tindakan pemerintah untuk menghentikan penganiayaan ini, kata Human Rights Watch hari ini. Pihak berwenang Filipina seharusnya menggelar penyelidikan menyeluruh atas pembunuhan pemimpin serikat buruh Jude Thaddeus Fernandez dan mengadili semua pihak yang bertanggung jawab.

Pihak kepolisian mengaku menembak Fernandez pada 29 September 2023 di rumahnya di kota Binangonan ketika dia “melawan” dalam proses serah terima surat perintah penggeledahan. Kepolisian belum menjelaskan alasan penggeledahan atau mengapa dia melawan. Rekan-rekan Fernandez mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka yakin polisi menggunakan klaim nanlaban (melawan), sebuah pembelaan yang biasa digunakan oleh petugas penegak hukum untuk melakukan pembunuhan di luar proses hukum, untuk membenarkan penembakan terhadap Fernandez.

“Pembunuhan atas Jude Fernandez cocok dengan pola penganiayaan dan kekerasan yang lebih luas terhadap para pemimpin buruh di Filipina,” kata Bryony Lau, wakil direktur Asia di Human Rights Watch. “Pihak berwenang seharusnya secara independen menyelidiki tindakan polisi dan melakukan penuntutan sebagaimana mestinya.”

Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengirimkan misi tingkat tinggi ke Filipina pada Januari lalu untuk menyelidiki pembunuhan terhadap sejumlah buruh dan pemimpin serikat buruh. Sebuah laporan bersama yang disampaikan oleh kelompok-kelompok serikat buruh kepada misi ILO merinci beberapa kasus pembunuhan. Rincian kematian Fernandez konsisten dengan banyak kasus tersebut. Kilusang Mayo Uno (KMU, atau Gerakan Satu Mei), serikat buruh tempat Fernandez bernaung, melaporkan bahwa 72 buruh dan anggota serikat buruh telah terbunuh di Filipina sejak tahun 2016. Empat dari kematian tersebut terjadi setelah kunjungan ILO pada bulan Januari. Pihak berwenang Filipina hanya menyelidiki beberapa dari kasus pembunuhan tersebut, dan lebih sedikit lagi yang berujung pada penuntutan dan vonis.

Dalam salah satu insiden terburuk yang dilaporkan, polisi pada tahun 2019 menggerebek kompleks anggota serikat buruh di provinsi Cavite dan membunuh sembilan aktivis, anggota serikat buruh, dan rekan-rekan mereka. Polisi mengatakan mereka menjalankan surat perintah penggeledahan tetapi para korban “melawan balik.”

Mereka yang terbunuh sering kali “ditandai merah”—diduga sebagai anggota Tentara Rakyat Baru (NPA) yang berhaluan komunis—sebelum mereka diserang. Alex Dolorosa, seorang pengurus kelompok buruh alih daya Jaringan Buruh Industri BPO (BIEN), telah ditandai merah, kata rekan-rekannya, sebelum dia dilaporkan hilang di Kota Bacolod pada 23 April. Mayatnya ditemukan beberapa hari kemudian dengan sejumlah luka tusukan.

Pihak berwenang Filipina telah lama menggunakan penandaan merah atau red-tagging untuk menganiaya para aktivis, baik di dalam maupun di luar gerakan buruh. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Human Rights Watch menunjukkan bahwa polisi, militer, dan pejabat pemerintah setempat, bukan perusahaan, yang biasanya bertanggung jawab dalam penandaan merah pada anggota serikat buruh dan buruh. Penandaan merah mengintimidasi buruh, membuat mereka enggan bergabung dengan serikat buruh, dan memperkecil kemungkinan serikat buruh untuk bergabung dengan federasi, terutama yang diidentifikasi sebagai kelompok kiri, seperti KMU. Penganiayaan sering kali makin meningkat selama negosiasi perundingan bersama, kata pengurus serikat buruh kepada Human Rights Watch.

Sejak pembentukan Satuan Tugas Nasional untuk Mengakhiri Konflik Bersenjata Komunis Lokal oleh presiden saat itu Rodrigo Duterte pada tahun 2018, dan kampanye kontra-pemberontakan yang intensif untuk menumpas pemberontakan komunis yang telah berlangsung selama 54 tahun, penandaan merah dan penganiayaan terhadap serikat buruh semakin memburuk.

Tanggapan Presiden Ferdinand Marcos Jr. terhadap misi ILO adalah dengan menandatangani perintah eksekutif pada April lalu yang “memperkuat dan melindungi” hak-hak buruh dan “mempercepat penyelidikan, penuntutan, dan penyelesaian kasus.” Marcos semestinya menjunjung tinggi komitmennya untuk melindungi para aktivis dan pemimpin serikat buruh, kata Human Rights Watch.

Para mitra dagang Filipina seharusnya menyuarakan keprihatinan mengenai pembunuhan Fernandez dan pola penganiayaan dan kekerasan terhadap buruh dan anggota serikat buruh, khususnya Uni Eropa, yang memberikan keuntungan perdagangan kepada Filipina dengan syarat hak asasi manusia dan hak buruh, dan baru-baru ini memulai kembali perundingan perdagangan bebas. Negara-negara lain yang memiliki perjanjian perdagangan bilateral serupa dengan Manila, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia, juga semestinya mendesak pihak berwenang Filipina untuk menyelidiki pembunuhan tersebut secara kredibel dan memastikan terwujudnya keadilan.

“Pembunuhan terhadap para anggota serikat buruh dan aktivis lainnya telah merajalela karena tidak ada pertanggungjawaban selama puluhan tahun,” kata Lau. “Pemerintah negara-negara lain yang menghargai Filipina sebagai mitra dagang semestinya mengirimkan pesan yang jelas kepada pemerintahan Marcos bahwa penganiayaan ini perlu dihentikan.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country