Skip to main content

Presiden Prancis Abaikan Pelanggaran HAM Selama Kunjungan ke Tiongkok

Pendekatan Tidak Kritis terhadap Catatan HAM Hanya Akan Memperkuat Beijing

Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Tiongkok Xi Jinping ambil bagian dalam pertemuan dewan bisnis di Beijing, 6 April 2023. © 2023 Ludovic Marin/AP Images

Presiden Prancis Emmanuel Macron tampaknya telah menyerah pada pesona Presiden Tiongkok Xi Jinping selama kunjungan tiga hari ke Tiongkok pekan lalu.

Seperti dalam kunjungan terakhirnya pada 2019, Macron secara terbuka mengabaikan situasi hak asasi manusia yang memburuk di Tiongkok di bawah Xi. “Presiden seumur hidup” Tiongkok itu terus memperketat cengkeraman diktatorialnya di negara itu, semakin membungkam perbedaan pendapat dengan penindasan tanpa henti berbarengan dengan pengintaian yang meluas. Pemerintah telah secara sistematis membongkar kebebasan mendasar di Hong Kong, terus melakukan penindasan yang meluas terhadap warga Tibet, dan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap orang Uighur dan Muslim Turki lainnya di Xinjiang.

Di bawah Xi, pemerintah Tiongkok juga memperluas pengintaian dan intimidasi untuk membungkam para pengkritik di luar negeri, termasuk di Prancis. Pemerintah Tiongkok sering menggunakan kekuasaannya untuk melemahkan sistem perlindungan HAM internasional dan melindungi dirinya sendiri dan pemerintah sejumlah negara lain yang sangat represif dari pengawasan internasional.

Macron tidak mengangkat satu pun dari persoalan-persoalan ini secara terbuka selama kunjungannya, bahkan tidak mempertimbangkan agar dia membahasnya secara pribadi. Sebaliknya, perang Ukraina yang jadi prioritas utamanya; ia mengaku dapat mengandalkan Xi untuk “menyadarkan Rusia”, meskipun Xi dan Presiden Rusia Vladimir Putin baru-baru ini menegaskan kembali “persahabatan tanpa batas” mereka. Prioritas Macron lainnya yang terlihat jelas adalah dimulainya kembali bisnis Prancis-Tiongkok setelah krisis Covid-19. Sejumlah kesepakatan dilaporkan, mengirimkan sinyal bahwa pelanggaran mengerikan yang Beijing  lakukan – termasuk laporan kredibel bahwa Uighur menjadi korban kerja paksa – tidak memengaruhi kesediaan Prancis untuk berbisnis dengan Tiongkok.

Sinyal kembalinya ke “bisnis seperti biasa” menandakan bahwa Macron belum belajar dari Ukraina bahwa mengabaikan pelanggaran HAM yang terus meningkat demi keuntungan ekonomi dan geopolitik jangka pendek dapat menimbulkan konsekuensi besar.

Beberapa hari sebelum bergabung dengan Macron di Beijing, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menunjukkan bahwa pemerintah Tiongkok “menjadi lebih represif di dalam negeri dan lebih tegas di luar negeri.” Macron seharusnya mencerminkan kenyataan ini dalam pertemuannya dengan Xi.

Beijing adalah pemenang besar dalam semua ini, dan hanya akan semakin berani dengan perlakuan Macron yang tidak kritis. Hanya beberapa hari setelah Macron meninggalkan Tiongkok, dua pengacara HAM terkemuka dijatuhi hukuman penjara yang berat atas tuduhan palsu. Untuk Beijing, ini adalah urusan biasa.

Pemerintah Prancis mengulangi kesalahan yang sama di Tiongkok, seperti yang dilakukannya dengan Rusia, yang kekejamannya di Ukraina menyebabkan penderitaan yang meluas. Mendukung HAM bukan hanya merupakan pendekatan berprinsip, melainkan juga merupakan kepentingan terbaik Prancis – dan semua orang.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.