Skip to main content

Jepang Seharusnya Mengakui Hubungan Non-Konsensual sebagai Pemerkosaan

Dengarkan Para Penyintas; Patuhi Standar Internasional

Sejumlah pengunjuk rasa hadir dalam pertemuan gerakan Flower Demo atau Demo Bunga melawan kekerasan seksual di Nagoya, Jepang, 8 Maret 2020. © 2020 Kyodo/AP Images

Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) penting yang saat ini berada di hadapan majelis tinggi Diet, Parlemen Jepang, yang akan merevisi definisi pemerkosaan dalam kitab hukum pidana dengan memasukkan “hubungan seks non-konsensual.” RUU tersebut, yang akan diputuskan pada 21 Juni, akan merevisi undang-undang kekerasan seksual di Jepang untuk kali kedua dalam satu abad terakhir.

RUU itu juga akan menaikkan batasan waktu pelaporan pemerkosaan dari 10 menjadi 15 tahun dan menaikkan usia persetujuan atau konsensual dari 13 menjadi 16 tahun, tanpa mengkriminalisasi perilaku seks konsensual oleh remaja yang sebaya. Namun, para penyintas mengkritik RUU tersebut karena tidak memberikan definisi yang sederhana dan jelas tentang pemerkosaan sebagai hubungan seksual tanpa persetujuan, alih-alih menjelaskan delapan skenario di mana korban mungkin tidak bisa memberi persetujuannya.

Amendemen dilakukan terhadap kitab hukum pidana Jepang pada 2017 untuk memperluas definisi pemerkosaan, tetapi masih jauh dari standar internasional. Hukum Jepang secara sempit mendefinisikan pemerkosaan sebagai hubungan seksual secara paksa melalui “penyerangan atau intimidasi”, atau dengan mengambil keuntungan dari “hilangnya kesadaran atau ketidakmampuan untuk melawan”.

Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kekerasan terhadap perempuan mendesak pemerintah negara-negara di dunia dalam sebuah laporan terbitan tahun 2021 agar menyelaraskan undang-undang nasional dengan standar hak asasi manusia, dengan menyatakan bahwa “[tidak adanya] persetujuan oleh korban harus menjadi inti dari semua definisi pemerkosaan.”

Di Jepang, pengalaman kekerasan seksual menimbulkan stigma dan rasa malu, yang sering kali membuat para penyintas enggan untuk melapor. Sebuah survei pemerintah tahun 2021 menunjukkan bahwa hanya sekitar enam persen laki-laki dan perempuan yang melaporkan penyerangan ke polisi, dan hampir separuh para perempuan tersebut mengatakan mereka tidak dapat melakukannya karena “malu”.

Para penyintas juga menggambarkan bagaimana polisi merendahkan dan membuat mereka menjadi korban untuk kali kedua saat meminta kesaksian mereka, dan bahkan berusaha meyakinkan para penyintas untuk membatalkan kasusnya. Seperti yang telah dilaporkan oleh banyak media, ambang batas hukum “penyerangan dan intimidasi” juga mengecualikan sebagian besar kasus yang berujung pada pembebasan.

Pemerintah Jepang seharusnya merevisi undang-undang tentang pemerkosaan dan kekerasan seksual agar sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional, dimulai dengan mengambil pendekatan yang berpusat pada para penyintas. Akses terhadap keadilan bagi penyintas pemerkosaan membutuhkan definisi pemerkosaan yang didasarkan para tidak adanya persetujuan. Polisi harus dilatih untuk meminta kesaksian tanpa melakukan reviktimisasi. Jaksa harus berkomitmen untuk mengadili para pelaku dan memastikan agar semua penyintas dapat mengakses layanan dan dukungan.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country