Skip to main content

Apa yang Israel Bisa Pelajari dari Kesalahan Langkah Kontraterorisme Amerika

Kasus Strategis untuk Mematuhi Hukum Perang

Published in: Foreign Affairs
A man walks through the rubble of Israeli strikes in Gaza City, October 15, 2023.  © 2023 Mutasem Murtaja/Reuters

Ketika para pejuang Palestina yang dipimpin Hamas melancarkan serangan mematikan di Israel pada 7 Oktober, banyak pemerintah asing bergegas mendukung Israel. Amerika Serikat secara khusus menyatakan bahwa Israel berhak membela diri, dan lantas mempercepat bantuan militer ke negara itu tanpa syarat.

Sekarang, Israel tampaknya siap untuk melancarkan invasi darat ke Jalur Gaza dalam upaya, katanya, untuk menghancurkan Hamas. Pasukan Pertahanan Israel telah meluncurkan ribuan serangan udara di enclave (daerah kantong) itu, mengerahkan ratusan ribu tentara di perbatasan, dan memperingatkan warga sipil Palestina untuk mengungsi dari bagian utara wilayah itu. Gaza adalah sebuah tempat kecil dan padat penduduk yang 2,2 juta warganya tidak punya tempat untuk dituju.

Dalam menanggapi kejahatan Hamas yang tak terperikan, Israel seharusnya mematuhi hukum perang – tidak hanya untuk mematuhi kewajiban hukum internasional tetapi juga untuk alasan moral dan strategis. Presiden A.S. Joe Biden telah mengatakan hal serupa dalam sebuah wawancara, dengan menyatakan bahwa "negara-negara demokrasi seperti Israel dan Amerika Serikat lebih kuat dan lebih aman ketika [mereka] bertindak sesuai dengan aturan hukum."

Serangan Hamas terhadap warga sipil di Israel, termasuk menembaki kerumunan massa, membunuh warga di rumah mereka, dan menyandera perempuan serta anak-anak, jelas merupakan tindakan yang melanggar hukum. Sayangnya, dalam tanggapan awal mereka terhadap kekejaman Hamas, Pasukan Pertahanan Israel sendiri terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum. Para pejabat AS masih punya waktu untuk mempengaruhi Israel sebelum perang darat dimulai. Mereka semestinya melakukan percakapan serius dengan Israel tentang perilakunya, secara terbuka mengkritik Israel ketika negara itu membahayakan warga sipil, dan membatasi transfer militer ke Israel ketika senjata-senjata milik AS digunakan untuk melanggar hukum internasional.

ATURAN KARENA SEBUAH ALASAN

Berbagai bukti yang jelas telah muncul bahwa Israel melanggar hukum internasional yang tercantum dalam Konvensi Jenewa. Pada 11 Oktober, pihak berwenang Israel memutus aliran air, listrik, bahan bakar, akses internet, dan makanan ke Gaza, yang merupakan hukuman kolektif yang melanggar hukum terhadap penduduk sipil. Meskipun para pejabat Israel telah memulihkan air ke beberapa bagian Gaza selatan, mereka tetap menutup keran air di sebagian besar wilayah itu. Pada 12 Oktober, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa tanpa listrik sejumlah rumah sakit Gaza "berubah menjadi kamar mayat." Pada 12 Oktober, Human Rights Watch melaporkan bahwa Israel menggunakan fosfor putih, yang dapat digunakan sebagai tabir asap atau sebagai senjata, dalam operasi di Gaza dan Lebanon. Karena fosfor putih dapat menyebabkan luka bakar yang menyiksa dan penderitaan medis jangka panjang, penggunaannya di daerah berpenduduk melanggar persyaratan Konvensi Jenewa untuk mengambil semua tindakan pencegahan yang memungkinkan untuk menghindari cedera dan hilangnya nyawa warga sipil.

Para pejabat AS enggan atau tidak berwenang untuk mengutuk pelanggaran Israel terhadap hukum humaniter internasional ini. Ketika ditanya apakah Amerika Serikat memberikan panduan kepada Israel tentang korban sipil, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby mengatakan bahwa pemerintah ingin menghindari "dukungan terhadap taktik di lapangan oleh Pasukan Pertahanan Israel." Jika Amerika Serikat ingin menegaskan bahwa mereka percaya pada hukum internasional, negara itu tidak boleh goyah dalam meminta pertanggungjawaban Israel atas tindakan permusuhannya.

Para pejabat AS tidak kesulitan mengkritik pemerintah negara lain atas pelanggaran hukum internasional. Tahun lalu, Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Linda Thomas-Greenfield mengecam perilaku Rusia dalam perang di Ukraina, dengan menunjukkan "penderitaan orang-orang di Mariupol" yang "tidak punya makanan, air, listrik, atau gas selama berminggu-minggu." Pemerintahan Biden mungkin bakal bereaksi berbeda terhadap Rusia daripada terhadap Israel karena percaya bahwa kekejaman Hamas membenarkan tindakan Israel. Tetapi aturan yang memandu perilaku dalam perang tidak bergantung pada apakah perang itu sendiri dibenarkan atau apakah pihak lawan mengikutinya. Jika mereka melakukannya, tidak ada pihak dalam konflik yang akan merasa berkewajiban untuk mematuhi hukum perang.

Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin telah menegaskan bahwa pemerintah AS prihatin dengan perlindungan terhadap warga sipil dalam operasi-operasi Israel. Tetapi mereka perlu melangkah lebih jauh. Jika para pejabat AS tidak secara terbuka menentang serangan membabi buta, memutus akses air dan listrik, dan penggunaan fosfor putih di daerah berpenduduk, maka semua itu merusak kredibilitas AS. Jika AS membiarkan pelanggaran hukum humaniter internasional terjadi, itu membahayakan kemampuannya untuk menegakkan tatanan internasional berbasis aturan, sekarang dan pada masa depan. Saat AS mengutuk Rusia karena mengebom sebuah blok apartemen atau rumah sakit, Presiden Rusia Vladimir Putin pasti akan mengklaim perlakuan tidak adil.

BELAJAR DARI KESALAHAN SAYA

AS mungkin adalah satu-satunya negara yang dapat mempengaruhi Israel pada saat ini. Hubungan keamanan AS-Israel berawal dari pendirian Israel setelah Perang Dunia II. Sejak saat itu, Israel telah menjadi penerima kumulatif terbesar bantuan militer AS, menerima lebih dari $ 158 miliar (belum disesuaikan dengan inflasi), menurut Stimson Center. Militer kedua negara itu berbagi informasi intelijen dan telah berlatih bersama selama beberapa dekade.

AS berkewajiban untuk memastikan bahwa para mitranya menjunjung tinggi standar yang telah disepakati. Dalam perintah eksekutif 2016 yang masih berlaku hingga saat ini, Presiden Barack Obama menyatakan bahwa Amerika Serikat akan "bekerjasama dengan mitra asing untuk berbagi dan mempelajari praktik terbaik untuk mengurangi kemungkinan dan menanggapi korban sipil." Rencana Aksi Respons Mitigasi Bahaya Sipil 2022 yang diprakarsai oleh Austin menyebutkan bahwa mitra keamanan AS memiliki kewajiban hukum yang sama dengan pasukan AS untuk meminimalkan bahaya bagi warga sipil. Kebijakan Transfer Senjata Konvensional baru tahun 2023 memungkinkan Departemen Luar Negeri untuk menghentikan transfer senjata ke negara-negara yang membahayakan warga sipil dengan senjata AS.

Washington seharusnya tidak mengesampingkan sejumlah komitmen ini untuk mitra-mitra terdekatnya. AS membuat kebijakan-kebijakan ini sebagai tanggapan atas serangkaian kesalahan langkahnya sendiri. Kerugian warga sipil yang luas dan disebabkan oleh pasukan AS dan mitra AS di Afghanistan, Irak, dan Suriah menimbulkan ketidakpercayaan yang mendalam, bahkan kebencian, terhadap AS dan kemungkinan mendorong perekrutan oleh kelompok-kelompok bersenjata. Operasi besar-besaran menyebabkan puluhan ribu warga sipil mengungsi, memperparah ketidakstabilan regional. Kematian dan cedera yang diderita oleh warga sipil di seluruh operasi kontraterorisme tidak pernah dihitung atau diakui secara akurat, tetapi semua itu masih ada dalam kehidupan sehari-hari para korban dan keluarga mereka. Para pejabat AS yang ingin membantu Israel pada saat krisis ini semestinya bisa membagikan apa yang telah mereka pelajari tentang risiko kegagalan memenuhi standar perilaku yang tinggi.

Sejumlah kegagalan AS dapat menjadi dasar bagi tindakan Israel di Gaza. Ambil contoh operasi militer AS pada 2016 untuk mengalahkan Negara Islam, juga dikenal sebagai ISIS, di Mosul, Irak. Para pejuang ISIS beroperasi di tengah-tengah populasi 2,5 juta orang. Kelompok itu menggali terowongan di antara rumah-rumah keluarga Irak sehingga para pejuangnya dapat menemukan jalan yang aman. Mosul adalah sebuah kota tua yang dipenuhi jalan-jalan sempit dan permukiman serta pasar yang pada. Namun hanya dua minggu sebelum pasukan AS menyerang, Washington tidak memiliki rencana militer tentang apa yang harus dilakukan terhadap penduduk sipil. Militer AS menjatuhkan selebaran dari pesawat yang memberitahu warga sipil agar menjauhi ISIS. Tentu saja, tidak ada cara bagi warga sipil untuk mematuhinya; ISIS akan mengeksekusi siapa saja yang memegang selebaran. Ketika pertempuran semakin intensif, hampir 900.000 warga sipil melarikan diri dari Mosul, beberapa di antaranya ditembak dari belakang oleh ISIS ketika berusaha melarikan diri. Militer AS menghancurkan infrastruktur, termasuk fasilitas air, dan lebih dari 5.000 rumah di kota tua. Banyak warga sipil tewas karena militer AS menggunakan bom besar, artileri, roket, dan mortir dengan efek area luas di daerah padat penduduk.

Meskipun militer AS menjanjikan "perang udara paling tepat dalam sejarah," kenyataannya tidak demikian. Setelah penghancuran Mosul, AS membuat kesalahan serupa dalam operasi di Raqqa, Suriah. Menurut sebuah laporan dari RAND Corporation, "Sebanyak 80 persen bangunan dianggap tidak layak huni" setelah koalisi pimpinan AS mengebom ISIS di Raqqa, dan "beberapa ribu warga sipil yang selamat dari penembakan dan pertempuran selama berbulan-bulan di jalanan tidak punya tempat untuk mencari air minum yang aman di dalam reruntuhan bangunan. " Mosul dan Raqqa membutuhkan miliaran dolar untuk membangun kembali dan penduduk sipil mereka terus menderita dengan cara yang mustahil dihitung. Bahkan jika warga sipil Irak dan Suriah merasa lega karena bebas dari kekuasaan ISIS yang brutal, banyak dari mereka yang hidup melalui operasi pimpinan AS terpukul, kehilangan harta benda dan anggota keluarga. Militer AS tampaknya melupakan pelajaran yang dianut oleh Jenderal Stanley McChrystal, yang memimpin pasukan internasional di Afghanistan, dan memperingatkan pada tahun 2009 bahwa untuk setiap warga sipil yang terbunuh, akan ada lebih banyak lagi pemberontak yang tercipta.

TARIK TEMAN ANDA DARI GAZA

Gaza bukanlah Irak atau Suriah. Tetapi ada pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman AS di kedua negara tersebut. AS merusak misinya sendiri dengan gagal memprioritaskan perlindungan warga sipil. Berbagai tindakan ISIS yang melanggar hukum, termasuk menggunakan perisai manusia, seharusnya membuat perlindungan warga sipil lebih penting — bukannya lebih rendah — dalam strategi AS.

Sama seperti masyarakat internasional yang mengembangkan dan mengadopsi Konvensi Jenewa setelah kebiadaban Perang Dunia II, Pentagon menciptakan sejumlah kebijakan untuk melindungi warga sipil setidaknya sebagian sebagai tanggapan atas kegagalannya di tempat-tempat seperti Mosul dan Raqqa. Militer AS percaya bisa berbuat lebih baik, dan kesadaran itu seharusnya mendorong AS untuk bekerja sama dengan mitranya, Israel, untuk melindungi warga sipil dan mematuhi hukum internasional. Para pejabat AS semestinya belajar dari kesalahan mereka sendiri untuk mengingatkan Israel bahwa melanggar hukum perang akan membawa konsekuensi moral, hukum, dan praktis yang akan berlangsung jauh melampaui akhir pertempuran. Apa yang terjadi sekarang di Gaza akan menentukan kredibilitas Israel di panggung dunia. AS benar-benar marah pada Hamas ketika mengejar warga sipil Israel. Sekarang Washington perlu memastikan bahwa Israel menghindari penyerangan terhadap warga sipil dalam tanggapannya.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.